Posisi Keris dan Badik di mata masyarakat Bugis Makassar


Keris di dalam masyarakat Bugis Makassar adalah merupakan suatu symbol/status dari si pemakai. Untuk itu tidak banyak dari masyarakat Bugis yang memiliki keris pusaka atau dalam bahasa Bugisnya adalah Selle atau Tappi. Walaupun suku Bugis Makassar sudah menganut agama Islam sejak awal abad ke XVII dengan masuknya Raja Tallo merangkap Mangkubumi kerajaan Gowa yang bernama I Mallingkaang Daeng Mannyori Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng (Pada tanggal 22 September 1605 atau 9 Jumadil awal 1014 (H)) yang tercatat dalam Lontara Patturioloanga ri Tugoaya maupun Lontara Bilanga. Tetapi hal itu tidak bisa mengurangi penghormatan keris dalam masyarakat Bugis Makassar. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa perundingan ataupun pertemuan Raja Raja Bugis yang apabila tidak dapat menghadiri maka digantikan dengan Keris Pusaka kerajaan. Tidak hanya itu bahkan banyak juga permasuri permasuri Raja yang dikawinkan (diwakilkan) oleh Keris milik Raja. Salah satu yang mulai mempopulerkan Keris dan senjata senjata tajam di Sulawesi Selatan, baik yang dipergunakan dalam peperangan maupun alat alat pertanian adalah Raja Bone ke II yang bernama La Ummasa dan bergelar Petta Panre BesiE (1358-1424). Di tangan pemerintahan beliaulah mulai banyak digunakan senjata senjata tikam untuk peperangan mauapun alat alat pertanian yang terbuat dari besi.

Hulu

Masuknya Islam di Sulawesi Selatan juga memberikan pengaruh pada perubahan gaya hulu keris Bugis, dari yang sebelumnya bergaya ke Hinduan yang di tampilkan dengan perwujudan stilasi dewa Hindu beralih menjadi stilasi burung garuda. Hulu dengan gaya burung garuda ini banyak dijumpai di daerah Sumatra, Sumbawa, dan Kalimantan yang mana banyak didapati imigran Bugis Makassar. Sebagian orang berpendapat walaupun dari segi bentuknya memiliki kesamaan tetapi hulu keris Bugis Sulawesi akan selalu lebih mendongak ke atas jika di banding hulu keris Bugis luar Sulawesi. Hal ini di karenakan daerah luar yang masih di bawah pengaruh Bugis Makassar harus lebih tunduk hulunya. Ini dikarenakan penguasa luar Sulawesi yang berasal dari Bugis Makassar adalah bukan calon mahkota melainkan Pangeran, Bangsawan atau Panglima yang mana tidak memungkinkan dirinya untuk bertahta di daerah asalnya. Atas dasar itu penguasa Bugis Makassar yang bertahta di luar Sulawesi harus menghormati kerajaan asalnya, salah satunya tercermin dari bentuk hulu yang lebih membungkuk. Untuk mengetahui kebenaran akan hal ini tentu harus dilakukan penelitian yang lebih dalam.

Bahan hulu keris Bugis Sulawesi ada yang terbuat dari Emas untuk Arajang (Pusaka Kerajaan), Gigi Ikan Duyung, dan juga Kayu kemuning. Untuk jaman sekarang siapapun bisa mengenakan hulu yang terbuat dari bahan apa saja.
Pemakaian keris pada jaman sekarang hanya pada saat saat tertentu saja dan biasanya yang bersifat seremonial dan pelengkap adat. Keris biasanya didapat secara turun temurun dan yang menerima biasanya telah melalui seleksi dari si pemberi. Beberapa faktor pertimbangan dari si pemberi biasanya meliputi aspek ketaatan kepada Agama, kepedulian akan adat istiadat (Siri dan Pesse), dan perbuatan yang di anggap bijak. Hal tersebut semata mata menandakan bahwa si penerima diharapkan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik di kalangan keluarga maupun masyarakat.


Badik

Badik adalah juga senjata tikam yang berasal dari Sulawesi dan paling banyak digunakan oleh masyarakat Bugis Makassar. Badik diposisikan dibawah Keris, untuk itu banyak sekali masyarakat Bugis Makassar yang memiliki Badik dengan tidak memandang strata sosial dari si pemakai. Begitu umum dan kuatnya pemakaian Badik bagi suku Bugis Makassar sehingga dikatakan bahwa Badik adalah teman setia lelaki Bugis Makassar. Karena membawa Badik sudah menjadi kebiasaan masyarakat disana maka sering kali pada saat operasi, Polisi banyak sekali mendapatkan Badik. Sama halnya dengan Keris, Badik juga didapat secara turun temurun dan terutama apabila si penerima ingin merantau atau beranjak dewasa. Hingga saat ini masih dapat dijumpai pande (Panre) Badik di daerah Sulawesi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat disana. Kebanyakan dari panre bessie (pande besi) tersebut adalah berprofesi sebagai petani, pedagang, ataupun pelaut. Menjadi pande besi hanyalah sebagai pendapatan sampingan saja. Seni pamor yang dihasilkan dari tempahan keris atau badik Bugis Makassar tidak segemerlap jika di bandingkan dengan hasil tempahan pande/empu dari tanah Jawa. Hal ini dikarenakan kepercayaan mereka bahwa Keris ataupun Badik yang bagus ataupun baik untuk dimiliki adalah yang pamornya dibuat tanpa unsur kesengajaan(tanpa direncanakan). Pada umumnya masyarakat disana hanya menyukai dan mengetahui beberapa pamor saja yang di Jawa disebut; Ujung Gunung, Batu Lapak, Qul Buntet, Beras Wutah dan Adeg. Dari segi bentuknya Badik ada 2 macam yang umum yaitu: 1) Badik Jantung Lompobattang dan 2) Badik La Gecong. Badik Lompobattang merupakan ciri atau karakter dari suku Makassar dan daerah sekitarnya yang berdekatan. Dinamakan Badik Lompobattang karena bentuknya menyerupai Jantung Pisang. Sedangkan La Gecong merupakan Badik yang banyak di gunakan oleh suku Bugis yang bentuknya lebih landai. Jenis besi yang baik untuk pembuatan keris ataupun badik adalah terbuat dari besi Luwuk yang warnanya adalah ke abu abuan seperti warna santan kelapa dan dicampur dengan pasir besi malela yang berkilau. Berat dari Keris dan Badik yang di anggap baik adalah yang ringan. Terkadang kita suka terkecoh karena melihat bentuknya yang tidak seimbang dengan beratnya. Hal ini disukai karena jenis badik yang ringan lebih praktis dalam hal perkelahian. Penggunaan besi Luwuk sangat digemari oleh masyarakat Bugis Makassar hal ini dikarenakan mereka mempercayai bahwa tuah yang timbul dari besi Luwuk sangat bagus. Besi Luwuk dipercayai dapat menghindari dari serangan binatang buas. Disamping kedua jenis Badik di atas tadi, masyarakat Bugis Makassar juga menyukai badik Simpa Siolong/Cappa Sikadong yang ditandai dengan adanya keretakan pada bagian punggung bilah, Rakapeng/Matapakato guratan setengah lingkaran pada mata bilah, dan Patelongi atau Combong lubang pada dinding bilah.

Pada jaman dahulu hal hal yang tidak dapat diselesaikan lagi dengan cara kekeluargaan terutama yang dipicu oleh pelanggaran akan Siri dan Pesse biasanya berakhir dengan perkelahian. Kedua petarung masuk kedalam Lipa (Sarung) dan mereka beradu saling tikam menikam di dalam Lipa tersebut dan siapa yang keluar dengan selamat maka dialah pemenangnya.



Karakteristik Keris Bugis Sulawesi

Memang cukup sulit jika kita ingin membahas tentang keris Bugis. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perantau baik dari kalangan bangsawan maupun bukan yang hijrah keluar dari Sulawesi. Maka dapat dikatakan adanya keris Bugis Sulawesi, Bugis Sumatra, Bugis Kalimantan dan Bugis Sumbawa. Maksud sebetulnya adalah yang mencirikan Kebugisan, hal ini dilihat dari Hulu dan Sarung keris yang hampir mempunyai bentuk yang sama. Tapi marilah kita coba fokuskan ke keris Bugis Sulawesi itu sendiri. Pada umumnya untuk mengetahui apakah keris tersebut adalah keris bugis Sulawesi adalah dengan melihat dari jenis bahan yang digunakannya. Pada umumnya jenis bahan besinya adalah besi luwuk yang sudah saya sebutkan di atas tadi, pamornyapun adalah Lakurisi (Ujung Gunung), Bari Bojo (Batu Lapak/Qul Buntet), dan Lagaring (Kulit Semangka). Tepi bilah asal dari Sulawesi umumnya dibuat Wengkon/Tepen yang cukup jelas. Pesi dari Keris Bugis asli adalah berukuran 3,5 cm hingga 5 cm dengan panjang ganja 7,5 cm - 8 cm. Untuk panjang bilahnya berkisar antara 28,5 cm hingga 34,5 cm. Sirah Cicaknya tebal, Cocornyapun hampir hampir membulat, Gendoknyapun tebal sekitar 1 cm. Bentuk bilah umumnya Sapukal atau lurus walaupun ada juga yang lamba (luk). Dengan bagian tengah permukaan bilah biasanya juga tebal dan kelihatan kokoh biasanya disebut jenis Ngadal Meteng ataupun Ngelimpa.


Sarung Keris

Sarung keris Bugis Sulawesi yang umum terbuat dari bahan jenis kayu Kemuning ataupun Kayu Hitam dan bentuknya menyerupai perahu. Sarung keris pusaka kerajaan terbuat dari Emas. Bentuk perahu dipilih karena banyak orang Bugis Makassar bermata pencaharian sebagai nelayan. Bagian sarung keris Bugis selalu terbagi menjadi 3 bagian yaitu; Sampir, Gandar dan Sepatu.

Pemakaian benang pengikat pada sarung keris Bugis lebih kepada perlambangan status sosial. Biasanya benang pengikat tersebut dipakai pada keris Kerajaan ataupun pribadi Bangsawan.Benang pengikat yang terbuat dari Emas adalah untuk pusaka Kerajaan sedangkan benang pengikat yang terbuat dari bahan biasa dipakai untuk keris pusaka pribadi bangsawan. Benang pengikat yang terbuat dari bahan umum (bukan Emas) juga menandakan keris tersebut adalah keris yang biasa dipergunakan oleh Raja pada saat berpergian. Warna benang pengikat yang umum biasanya adalah kuning, merah, dan hijau.

Keris ataupun Badik di Sulawesi Selatan tidak di warangi melainkan hanya di cuci dengan perasan air jeruk saja sehingga lebih terkesan alami.

Demikian kiranya informasi yang saya buat ini dan berdasarkan hasil pengamatan saya terhadap keris Bugis Sulawesi. Insya Allah suatu saat saya akan hadirkan artikel khusus yang lebih banyak lagi mencantum informasi mengenai keris Bugis Sulawesi, tentunya dengan riset yang memadai. Blog ini khusus saya tulis untuk pembelajaran bersama, karena banyaknya pertanyaan pertanyaan yang hadir ke email saya mengenai informasi Keris Bugis. Jika ada kesalahan ataupun kekurangan sekali lagi saya mohon maaf. Semoga blog ini dapat bermanfaat bagi khalayak pecinta Pusaka/Tosan Aji pada khususnya.

Wassalamualaikum Wr, Wb.

Sumber : http://matteru.multiply.com/journal/item/8/Pemahaman_Keris_Bugis
Penulis : Andi Mohammad Irvan Zulfikar
Sumber Foto : http://srv.fotopages.com/2/16709622/KERIS-BUGIS-SERIAN-1.jpg